Beranda | Artikel
Musibah Dan Bencana Serta Solusinya Dari Perspektif Alquran Dan Sunah
Selasa, 1 April 2014

Gempa, angin ribut, dan puting beliung, longsor, banjir bandang, wabah flu burung, flu babi, dan yang teranyar adalah Tomcat (semut beracun yang tadinya bersahabat dengan petani dalam membasmi hama, kini malah menyerang manusia). Inilah serangkaian buah dari benih dosa dan maksiat yang pernah kita tanam dengan tangan kita sendiri. Kita boleh lupa pernah menanam “benih terlarang” itu. Hanya saja Allah tak pernah lupa apalagi tidur walau sekejap.

وَما أَصابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ

“Dan segala sesuatu yang menimpa kalian (berupa adzab dan bala’) adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah banyak memaafkan kalian.” (QS. Asy-Syuura: 30)
Ada banyak ayat dalam Alquran yang menegaskan bahwa dosa dan maksiat, adalah biang kerok atas terjadinya musibah silih berganti yang menimpa peradaban manusia dari masa ke masa. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat: 751 H) mengatakan,

فَمَا الَّذِيْ أَخْرَجَ الأَبَوَيْنَ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارُ اللَّذَّةِ وَالنِّعْمَةِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إلَى دَارِ الآلَامِ والْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟

Apakah yang telah menyebabkan kedua orangtua kita (Adam dan Hawa) dikeluarkan dari surga, negeri (yang penuh dengan) kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan dan kesenangan, menuju negeri penuh derita, kesedihan dan musibah?

وما الّذي أغرق أهل الأرض كلّهم حتّى علا الماء فوق رؤوس الجبال؟. وما الّذي سلّط الرّيح على قوم عاد حتّى ألقتهم موتى على وجه الأرض كأنّهم أعجاز نخل خاوية، ودمّرت ما مرّت عليه من ديارهم وحروثهم وزروعهم ودوابّهم حتّى صاروا عبرة للأمم إلى يوم القيامة؟

Apakah (penyebab) yang telah menenggelamkan segenap penduduk bumi (kaum Nuh), sampai-sampai air bah meninggi melampaui puncak gunung? Dan apakah yang telah menyebabkan angin membinasakan kaum ‘Aad sampai-sampai mereka mati bergelimpangan layaknya batang pohon kurma yang sudah lapuk? Dan menghancurkan segala yang dilaluinya di kampung mereka, tanaman mereka, peternakan mereka, sampai-sampai mereka menjadi ibrah (pelajaran) bagi seluruh umat sampai hari kiamat?

وما الّذي أرسل على قوم ثمود الصّيحة حتّى قطعت قلوبهم في أجوافهم وماتوا عن آخرهم؟

Dan apakah yang menyebabkan datangnya pekikan suara menggelegar bagi kaum Tsamud, hingga mencabik-cabik jantung hati yang ada dalam rongga tubuh mereka, lantas mereka semua binasa?

وما الّذي رفع قرى اللّوطيّة حتّى سمعت الملائكة نبيح كلابهم، ثمّ قلبها عليهم، فجعل عاليها سافلها، فأهلكهم جميعا؟ ثُمَّ أَتْبَعَهُمْ حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَمْطَرَهَا عَلَيْهِمْ

Dan apakah penyebab yang  telah mengangkat kampung Luth, sampai-sampai Malaikat mendengar lolongan anjing-anjing mereka, kemudian kampung tersebut dibalik, bagian atas menjadi bawah, lantas membinasakan mereka seluruhnya? Kemudian dilanjutkan dengan turunnya hujan batu dari langit terhadap mereka?

وما الّذي أغرق فرعون وقومه في البحر ثمّ نقلت أرواحهم إلى جهنّم، والأجساد للغرق، والأرواح للحرق؟

Dan apakah penyebab yang telah menenggelamkan Firaun dan kaumnya ke dasar lautan, kemudian arwah mereka dipindahkan ke neraka Jahanam. Jasad-jasad mereka binasa ditenggelamkan, sementara arwah mereka dibakar? (Al-Jawaabul Kaafi: 43)
Jawabannya ada pada satu ungkapan; “dosa dan maksiat”.
Syirik, Biang Kerok Bencana Nomor Wahid
Perlu digarisbawahi, bahwa maksiat yang paling berat di mata Allah adalah kesyirikan. Di samping beribadah kepada Allah, juga beribadah kepada selain-Nya. Di samping berdoa kepada Allah, juga berdoa kepada selain-Nya. Di samping berharap dan takut kepada Allah, juga berharap dan takut kepada selain-Nya. Di samping sholat di masjid, juga i’tikaf di kuburan orang shalih. Di samping menyembelih kurban, juga melayarkan sesaji ke lautan. Di samping mengimani Rasulullah, juga mempercayai dukun, ramalan zodiak, dan feng-shuiInilah hakikat kesyirikan sebagaimana yang didefinisikan oleh ulama Syafi’iyyah. Imam An-Nawawi Asy-Syaafi’i rahimahullah (wafat: 676 H) mengatakan dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (2/71, cet.-2 Daar Ihyaa’ at-Turaats, 1392 H):

الشِّرْكُ وَالْكُفْرُ قَدْ يُطْلَقَانِ بِمَعْنًى وَاحِدٍ وَهُوَ الْكُفْرُ بِاللهِ تَعَالَى، وَقَدْ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فَيُخَصُّ الشِّرْكُ بِعِبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ مَعَ اعْتِرَافِهِمْ بِاللهِ تَعَالَى

“Syirik dan kufur terkadang disebut secara mutlak untuk satu makna yang sama, yaitu al-kufru (kekufuran) kepada Allah Ta’ala. Dan terkadang keduanya dibedakan, sehingga istilah syirik secara khusus (mengandung makna): peribadatan kepada berhala atau selainnya dari kalangan makhluk, bersamaan dengan pengakuan (mereka para hamba) akan Allah Ta’ala…”

Kesyirikan sejatinya adalah tujuan akhir syaitan dalam menyesatkan putra-putri Adam. Melakukan kesyirikan berarti mewujudkan sesuatu yang paling dicintai oleh syaitan, dan ini merupakan bentuk penyembahan terhadapnya yang bisa mengundang adzab Allah, sebagaimana diungkapkan oleh Ibrahim ‘alaihissalaam ketika mendakwahi bapaknya yang musyrik:

يا أَبَتِ لا تَعْبُدِ الشَّيْطانَ إِنَّ الشَّيْطانَ كانَ لِلرَّحْمنِ عَصِيًّا (44) يا أَبَتِ إِنِّي أَخافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذابٌ مِنَ الرَّحْمنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطانِ وَلِيًّا

“Wahai Ayahku! Janganlah engkau menyembah syaitan, karena syaitan itu durhaka pada ar-Rahmaan. Wahai Ayahku! Aku takut engkau akan ditimpa adzab dari ar-Rahmaan, lantas engkau menjadi wali syaitan.” (QS. Maryam: 44-45)
Kebinasaan umat-umat terdahulu akibat adzab yang merata, tidak lain penyebabnya adalah penolakan mereka terhadap ajakan tauhid para Rasul, dan tetapnya mereka bergelimang dalam kesyirikan. Adzab Allah pun tak terhindarkan lagi untuk mereka. Puing-puing kehancuran peradaban mereka di muka bumi, masih bisa dilihat sampai detik ini. Sebagai pelajaran bagi generasi yang datang setelahnya. Allah berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِين

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (segala sesuatu yang disembah selain Allah) itu, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (mereka binasa karena adzab).” (QS. An-Nahl: 36)
Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat: 774-H) menafsirkan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan seruan tauhid dalam ayat di atas dengan firman-Nya (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4:570):

دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا

“Allah meluluhlantahkan mereka, dan bagi orang-orang kafir akan menerima hal yang sama.” (QS. Muhammad: 10)
Telaah dan renungan terhadap ayat-ayat Alquran juga menyimpulkan bahwa adzab Allah yang datang secara mengejutkan dan menghentakkan, hanya menimpa orang-orang yang zalim. Allah berfirman,

قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ بَغْتَةً أَوْ جَهْرَةً هَلْ يُهْلَكُ إِلا الْقَوْمُ الظَّالِمُونَ

Katakanlah!Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong, atau terang-terangan, Maka Adakah yang dibinasakan (Allah) selain dari orang yang zalim?” (QS. Al-An’aam: 47)
Jika ayat di atas dikaitkan dengan firman Allah dalam QS. Luqman ayat 13, maka jelaslah bahwa kezaliman yang terbesar adalah kesyirikan:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.”
Tatkala Kemaksiatan Telah Menjadi Budaya
Kemaksiatan yang dilakukan secara terang-terangan tanpa ada teguran apalagi penolakan, adalah tanda bahwa dosa sudah menjadi budaya hidup. Saat ini terjadi, maka tunggulah adzab Allah yang merata dalam beragam wujud dan bentuknya, yang akan menghancurkan sebuah peradaban tanpa pandang bulu, na’udzubillah.
Rasulullah r bersabda,

مَا ظَهَرَتِ الْفَاحِشَةُ فِيْ قَوْمٍ قَطُّ يُعْمَلُ بِهَا فِيْهِمْ عَلَانِيَةً إلَّا ظَهَرَ فِيْهِمُ الطَّاعُوْنُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِيْ لَمْ تَكُنْ فِيْ أَسْلَافِهِمْ وَمَا مَنَعَ قَوْمٌ الزَّكَاةَ إلَّا مُنِعُوْا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوْا وَمَا بَخَسَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ إلَّا أُخِذُوْا بِالسِّنِيْنَ وَشِدَّةِ الْمُؤْنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ وَلَا حَكَمَ أُمَرَاؤُهُمْ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إلَّا سَلَّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوُّهُمْ فَاسْتَنْقَذُوْا بَعْضَ مَا فِيْ أَيْدِيْهِمْ وَمَا عَطَّلُوْا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ إلَّا جَعَلَ اللهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

Tidaklah perbuatan keji merajalela pada suatu kaum, yang dipraktikkan secara terang-terangan di tengah-tengah mereka, melainkan pasti akan merebak wabah dan penyakit membinasakan yang belum pernah ada pada generasi sebelumnya. Dan tidaklah suatu kaum menahan (tidak membayar) zakat, melainkan mereka akan dihalangi dari tetesan air dari langit, kalau saja bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan. Dan tidaklah suatu kaum (berbuat curang dalam jual beli dengan) mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan ditimpa kekeringan yang berkepanjangan dan dahsyatnya beban hidup, serta kejahatan penguasa. Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka berhukum dengan hukum selain hukum Allah, melainkan Allah menjadikan musuh menguasai mereka dan merampas sebagian yang dikuasai oleh tangan-tangan mereka. Dan tidaklah mereka menolak (tidak mengamalkan) Kitabullah dan sunah Rasul-Nya, melainkan Allah akan menjadikan pertikaian atau permusuhan antara sesama mereka.” (Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib, no. 2187)

Solusi Syariat
Ketika Alquran dan sunah menjelaskan kepada kita penyebab-penyebab datangnya adzab dan bala’, ketika itu pula kita bisa menyimpulkan formula untuk menolak datangnya adzab dan bencana tersebut:
Pertama: Bertaubat Kepada Allah
Tindakan pertama yang harus segera kita lakukan adalah kembali dan bertaubat kepada Allah. Imam Ibnul  Qayyim rahimahullah (dalam Miftah Daris Sa’adah, 1:287) mengatakan,

وَمَا نَزَلَ بَلَاءٌ قَطُّ إلَّا بِذَنْبٍ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah suatu bala’ turun melainkan karena dosa, dan tidaklah bala’ tersebut akan diangkat melainkan dengan taubat.” (Mausu’ah Nadhrotin Na’im, 1:18)
Imam Al-Qurthubi rahimahullah (wafat: 671 H) mengatakan,

وَالِاسْتِغْفَارُ وَإِنْ وَقَعَ مِنَ الْفُجَّارِ يُدْفَعُ بِهِ ضَرْبٌ مِنَ الشُّرُورِ وَالْأَضْرَارِ

“Istigfar jika dipanjatkan oleh orang-orang bejat (sekalipun), bisa menolak terjadinya hal-hal yang buruk dan mampu menepis berbagai kemudaratan.” (Tafsir al-Qurthubi, 7:399)
Kedua: Menegakkan Tauhid, Menjauhi Syirik
Dengan tegaknya tauhid dan hilangnya kesyirikan pada suatu negeri, maka dijamin keamanan dan kemakmuran bagi negeri tersebut akan terwujud. Ini adalah janji Allah dalam firman-Nya,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (Syaratnya) mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun” (QS. an-Nur: 55)
Ketiga: Menghidupkan sunah Rasulullah r dan Senantiasa Beristigfar
Menjadikan sunah Rasulullah sebagai praktik hidup yang mendarahdaging di tengah masyarakat kita adalah salah satu tameng paling ampuh untuk menolak adzab dan bencana. Allah berfirman,

وَما كانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَما كانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan tidaklah Allah akan mengadzab mereka (orang-orang kafir di Mekah) sementara engkau (Wahai Muhammad) masih berada di tengah-tengah mereka, dan tidaklah Allah akan mengadzab mereka selama mereka senantiasa ber-istigfar.” (QS. Al-Anfal: 33)
Dalam ayat sebelumnya (QS. al-Anfal: 32), Allah mengabarkan perihal kafir Mekah yang menantang turunnya adzab dari langit, jika memang risalah yang dibawa Muhammad r adalah benar. Namun Allah tidak mengadzab mereka, karena keberadaan Nabi dan kaum mukminin yang masih tinggal di tengah-tengah mereka.
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari ayat tersebut dengan ucapannya yang indah:

إذَا كَانَ وُجُودُ بَدَنِهِ وَذَاتِهِ فِيهِمْ دَفَعَ عَنْهُمْ الْعَذَابَ وَهُمْ أَعْدَاؤُهُ، فَكَيْفَ وُجُودُ سِرِّهِ وَالْإِيمَانِ بِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَوُجُودُ مَا جَاءَ بِهِ إذَا كَانَ فِي قَوْمٍ أَوْ كَانَ فِي شَخْصٍ؟، أَفَلَيْسَ دَفْعُهُ الْعَذَابَ عَنْهُمْ بِطَرِيقِ الْأَوْلَى وَالْأَحْرَى؟

“Jika keberadaan Rasulullah r secara fisik di tengah-tengah mereka (kafir Mekah) mampu mencegah turunnya adzab atas mereka, padahal mereka adalah musuh-musuh beliau r, maka bagaimana kiranya jika keberadaan beliau pada diri seseorang atau pada suatu kaum, terwujud dalam bentuk cinta dan iman kepada beliau, serta dalam bentuk tegaknya apa yang beliau bawa (berupa sunah)? Bukankah yang demikian ini lebih utama dan lebih pantas untuk terhindar dari adzab?” (I’lamul Muwaqqi’in, 1:173, tahqiq: Muhammad Abdissalam Ibrahim)
Keempat: Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Jika sebuah komunitas ingin terhindar dari adzab Allah, maka orang-orang mukmin dalam komunitas tersebut harus saling nasihat-menasihati untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemaksiatan yang terjadi di sekitar mereka, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus ada pengingkaran dan usaha untuk merubah kemungkaran tersebut sebisa mungkin, tentunya dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat. Jika tidak, inilah yang bakal terjadi:

مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي ثُمَّ يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُونَ إِلَّا يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ

 “Tidaklah merebak pada suatu kaum praktik kemaksiatan, lantas mereka tidak menghilangkan kemaksiatan tersebut, padahal mereka mampu, melainkan sedikit lagi mereka akan ditimpakan oleh Allah adzab yang merata.” (Shahih, lih. Misykaatul Mashaabiih, 5142)
Allah juga berfirman,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan dan perbaikan.” (QS. Huud: 117)
Kelima: Berdoa dan Berharap Kepada Allah
Sebagaimana hanya Allah yang mampu menurunkan adzab kepada hamba-Nya, maka hanya Allah pula yang mampu mengangkat atau menolak adzab tersebut.
Rasulullah r bersabda,

إنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللهِ بِالدُّعَاءِ

Sesungguhnya doa itu bermanfaat pada apa-apa yang telah terjadi (berupa musibah, dll) dan bermanfaat pada apa-apa yang belum terjadi. Maka wajib atas kalian untuk berdoa wahai hamba-hamba Allah!” (Shahih at-Targhiib wat Tarhib, no.1634)
Dalam hadis yang lain, Rasulullah r menjelaskan bahwa doa mampu menolak sesuatu yang tidak diinginkan terjadi oleh hamba,

لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إلَّا الدُّعَاءُ

Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa.” (Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib: 1638)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

وَالدُّعَاءُ مِنْ أَنْفَعِ الْأَدْوِيَةِ، وَهُوَ عَدُوُّ الْبَلَاءِ، يَدْفَعُهُ، وَيُعَالِجُهُ، وَيَمْنَعُ نُزُولَهُ، وَيَرْفَعُهُ، أَوْ يُخَفِّفُهُ إِذَا نَزَلَ، وَهُوَ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ

“Doa termasuk obat yang paling mujarab. Ia adalah musuh bagi bala’, yang menolaknya, yang memperbaiki dampak buruknya, yang mencegah turunnya, yang mengangkat bala’ tersebut, atau meringankannya jika ia telah turun, dan ia adalah senjata mukmin.” (Jawabul Kafir, 1:10)
Oleh sebab itu, segenap doa dan harapan agar negeri ini terhindar dari adzab Allah, hanya pantas dipanjatkan kepada-Nya. Inilah makna ucapan Ali bin Abi Thalib t,

لَا يَرْجُوَنَّ عَبْدٌ إلَّا رَبَّهُ وَلَا يَخَافَنَّ إلَّا ذَنْبَهُ

“Tidaklah seorang hamba berharap, kecuali hanya kepada Rabb-nya, dan tidaklah seorang hamba takut, kecuali pada dosa-dosanya.” (Al-Fatawa al-Kubra, 5:231, Ibnu Taimiyyah)
***

 

Penyusun:
Johan Saputra Halim (Ponpes Abu Hurairah Mataram, Lombok– NTB)

Artikel ini telah dibaca dan di-tash-hih oleh:
Ust. Zahid Zuhendra, Lc. & Ust. Jamaluddin, Lc. (Ponpes Abu Hurairah Mataram, Lombok-NTB)

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2878-musibah-dan-bencana-1530.html